Jumat, 16 Desember 2011
REVITALISASI DI KOTA DAENG
Revitalisasi Karebosi
menjadi kontroversi. Suara deru alat berat yang mulai sibuk mengeruk tanah
lapangan di jantung kota Makassar itu, sekencang deru kekhawatiran yang
berkembang di ruang-ruang diskusi publik. Setelah direvitalisasi, akankah
Karebosi tetap menjadi ruang publik yang gratis bagi seluruh lapisan
masyarakat? Akankah Karebosi beralih fungsi menjadi sentra komersil semata,
sebagaimana kecenderungan pembangunan kota yang terjadi selama ini? Citizen reporter
Mustamin al-Mandary yang bermukim di Balikpapan, juga menggelisahkan Karebosi.
Kegelisahannya itu yang menjadi inspirasi baginya untuk melakukan wawancara
independen dan pengamatan seputar masalah revitalisasi alun-alun yang merupakan
nol kilometer Makassar ini.
Saat ini, lapangan
Karebosi yang dianggap sebagai salah satu ruang publik yang paling luas di
Makassar, sedang direvitalisasi. Walaupun rencana revitalisasi ini sudah
disampaikan oleh pemerintah kota pertengahan tahun 2006 yang lalu, namun respon
masyarakat justru baru muncul pada saat pekerjaan revitalisasi itu mulai
dilakukan. Sekelompok masyarakat sempat turun ke jalan bulan Oktober lalu,
untuk memprotes pekerjaan ini. Akan tetapi, muncul pertanyaan, mengapa protes
itu baru dilakukan sekarang? Bahkan diskusi mengenai masalah revitalisasi ini
semakin memanas ketika muncul anggapan bahwa ratusan LSM di kota Makassar, yang
semestinya melakukan proses kontrol dan menjadi mitra masyarakat dalam
mengkritisi kebijakan pemerintah, dianggap tidak melakukan apa-apa.
Bukan sekadar
menghentikan banjir?
Dalam beberapa tahun
terakhir, lapangan Karebosi sering mengalami banjir jika musim hujan. Pada
kondisi banjir yang paling parah, seluruh permukaan lapangan bisa tergenang dan
lapangan berubah menjadi danau. Hal ini diakibatkan karena lapangan Karebosi,
menurut pengukuran terakhir tahun 2006, berada pada elevasi antara minus 50 –
minus 80 cm dari permukaan jalan. Hal lain yang memperparah kondisi ini adalah
lapangan Karebosi sendiri diapit oleh jalan raya serta bangunan-bangunan tinggi
di keempat sisinya, sehingga air hujan tumpahnya ke lapangan Karebosi. Dengan
saluran pembuangan yang ada sekarang, praktis volume air hujan yang cukup
tinggi di musim hujan, khususnya di bulan Nopember sampai Januari, bisa
menenggelamkan seluruh permukaan lapangan, belum lagi jika hujan deras
bersamaan dengan saat pasang permukaan air laut.
Karena itulah,
pemerintah kota Makassar berniat melakukan perbaikan. Akan tetapi pemerintah
terbentur dengan biaya yang tidak sedikit. Pada rencana pertama, pemerintah
ingin menawarkan pekerjaan ini kepada investor, tetapi tentu saja tidak akan
ada yang berminat karena tidak adanya nilai ekonomis sebagai return.
Akhirnya pemerintah
melakukan sayembara desain revitalisasi lapangan Karebosi pada pertengahan
tahun 2006, dengan tujuan mencari masterplan yang jadi acuan pemerintah kota
serta diharapkan bisa menggaet investor.
Sayembara ini
dimenangkan oleh PT Lintas Cipta Desain (PTLCD) yang memanfaatkan lahan bawah
tanah seluas 2,9ha di sisi utara Karebosi 85% sebagai tempat parkir dan 15%
sebagai tempat aktivitas ekonomi. Pada presentasi desain di hadapan Walikota
Makassar yang dihadiri oleh wakil presiden, Jusuf Kalla, mengemukan keinginan
agar pekerjaan ini secepatnya bisa diselesaikan.
Sederhananya,
revitalisasi lapangan Karebosi akan menaikkan elevasi lapangan sekitar 40 – 60
cm dari permukaan jalan. Rencana ini akan memanfaatkan metode cut and fill di
mana tanah di bawah lapangan akan digunakan untuk menimbun permukaan.
Akan tetapi, desain
awal tidak menarik investor karena investasi parkir bawah tanah jauh lebih
mahal dibandingkan parkir di atas bangunan sementara alokasi 15% area bawah
tanah sebagai tempat aktivitas ekonomi terlalu sedikit. Untuk itulah, desain
akhirnya diubah dengan memperluas area aktivitas ekonomis menjadi 40%. Adapun
area 60% lainnya akan digunakan sebagai tempat parkir yang akan menampung
sekitar 800 kendaraan roda empat, termasuk tempat naik dan turunnya penumpang
pete-pete untuk trayek yang melalui jalan Sudirman sehingga diharapkan
kemacetan di jalan ini bisa dikurangi.
Seperti yang
disampaikan Ihsan Imawan dari PTLCD, praktis tidak ada perubahan akses di
permukaan lapangan Karebosi nanti. Penjelasan ini menjawab kemungkinan adanya
pembatasan akses publik jika tempat aktifitas ekonomi bawah tanah sudah
selesai. “Bahkan, dengan revitalisasi ini, permukaan lapangan Karebosi yang
selama ini jarang dimanfaatkan karena tidak terawat dan tidak layak, akan
diubah menjadi berbagai sarana olahraga dan aktivitas publik lainnya,” papar
alumnus Fakultas Teknik Unhas ini.
Kontroversi di Tengah
Masyarakat
Salah satu keberatan
masyarakat terhadap revitalisasi lapangan Karebosi muncul dari kekhawatiran
adanya kemungkinan tempat ini tidak akan bisa lagi dijadikan sebagai ruang
publik. Taufik dari Wahana Lingkungan Hidup (Wallhi) Makassar, menekankan bahwa
ruang publik seharusnya tidak digabungkan dengan ruang komersil. Dari sisi
sejarah, revitalisasi lapangan Karebosi yang di areanya terdapat tujuh kuburan
keramat juga menimbulkan kecemasan tersendiri, khususnya masyarakat yang
mensakralkan kuburan itu dengan alasan masing-masing.
Dari sisi prosedur,
proses tender pekerjaan revitalisasi Karebosi juga dipertanyakan. Ada anggapan
bahwa pekerjaan ini dilakukan dengan penunjukan langsung kepada PT Tosan (PTT)
milik Bang Hasan yang juga pemilik Makassar Trade Center (MTC). Lebih jauh
bahkan ditengarai adanya kemungkinan “kerja sama” dengan group Bosowa yang
sebentar lagi membangun menara pencakar langit di salah satu sisi Karebosi,
tetapi tidak memiliki lahan parkir yang cukup di tempat itu.
Karena itulah, Walhi
Makassar yang juga memayungi LBH berencana melakukan legal standing mengenai
revitalisasi Karebosi. Seperti yang disampaikan Taufik, mereka akan
mempertanyakan kebijakan pemerintah dalam masalah ini khususnya yang
berhubungan dengan tata ruang, lingkungan hidup dan transparansi proses tender
proyek. Sampai saat ini, Walhi sendiri belum menerima dokumen Amdal yang
semestinya sudah harus rampung sebelum pekerjaan dilakukan.
Rawan dan Hati-hati
Akan tetapi, masalah
Karebosi mulai merambah ke wilayah politik, demikian diakui beberapa tokoh
Ormas dan LSM di Makassar yang bergerak di bidang hukum dan pembangunan kota.
Ketika terjadi demonstrasi dari salah satu organisasi pemuda menentang
revitalisasi yang nyaris menimbulkan bentrok fisik beberapa waktu yang lalu,
beberapa LSM mengatakan tidak ingin turun ke jalan bersama demonstran itu
karena mereka menganggap ada unsur politik yang cukup kental dalam aksi itu.
Namun di sisi yang
lain, sejumlah LSM Makassar juga menyadari bahwa “diam”nya mereka justru akan
menguntungkan kekuatan politik lain yang mendukung revitalisasi Karebosi. Oleh
karena itu, sebagian besar mereka berhati-hati untuk mengambil sikap praktis karena
kompleksitas masalah ini di mata mereka.
Perlu pula
digarisbawahi disini bahwa walaupun terdapat banyak LSM di Makassar, namun
bidang yang mereka kerjakan juga beragam. Seorang tokoh LSM mengakui bahwa
mereka tidak ingin terlibat secara langsung dalam reaksi ini karena memang
bidang pekerjaan mereka tidak berhubungan langsung dengan masalah ini. Akan
tetapi, ia menegaskan bahwa jika sekiranya ada LSM yang bergerak langsung di
bidang ini ingin melakukan protes secara hukum, forum LSM Makassar akan memberikan
dukungan penuh dan menunjukkan solidaritas.
Klarifikasi
Ihsan dari PTLCD
ketika dimintai tanggapan atas reaksi masyarakat dan aktivis LSM, , menyatakan
cukup kaget. Ihsan menjelaskan bahwa dari awal mereka terlibat dalam desain ini
dan tim penilai dalam lomba desain itu adalah tim yang terdiri wakil
pemerintah, lembaga konsultan independen dan LSM. Bahkan pada saat desain
mereka terpilih, Ihsan beberapa kali menulis di media lokal dengan harapan ada
tanggapan, namun ternyata tidak ada kecuali beberapa tanggapan positif dari
pelaku ekonomi yang mendukung upaya itu, semisal Persatuan Hotel dan Restoran
Indonesia (PHRI). Sebagai tambahan, pemanfaatan ruang bahwa tanah di Karebosi
bukanlah yang pertama, tetapi desain itu sebenarnya sudah ada di tempat lain
semisal gelanggang pemuda dan olahraga Soemantri di Kuningan Jakarta dan
lapangan Merdeka di Kuala Lumpur di Malaysia.
Menanggapi dokumen
amdal yang belum lengkap, Ihsan mengatakan bahwa amdal lalu lintas sebenarnya
sudah diselesaikan oleh investor yang memenangkan pekerjaan ini dan dari sisi
penilaian mereka, tidak ada masalah. Adapun amdal yang diminta oleh Walhi,
memang belum selesai. Namun demikian, Inkindo (asosiasi konsultan) yang dirujuk
PT Tosan mengatakan bahwa mereka bisa melanjutkan pekerjaan dan dokumen
amdalnya dapat disusulkan kemudian.
Soal Tender
Mengenai proses
tender, Ihsan mengatakan bahwa tender dilakukan dua kali melalui pemuatan iklan
di Media Indonesia dan Ujungpandang Express. Hal ini dilakukan karena pada saat
tender pertama, yang mengajukan penawaran hanya satu bidder yakni PT Tosan itu.
Namun pada saat sampai pada saat tender kedua penawaran tetap hanya satu
bidder, akhirnya diputuskan untuk menyerahkan pekerjaan ini kepada PT Tosan.
Akan tetapi, Taufik
dari Walhi mengatakan bahwa sebenarnya dia sudah beberapa kali memberikan
tanggapan, bahkan sudah mengirimkan tulisan kritik revitalisasi Karebosi ini
sekitar Oktober 2006 lalu ke beberapa harian lokal, tetapi tidak satupun media
yang memuatnya. Karenanya, dia menengarai bahwa kemungkinan ada unsur
kesengajaan tidak dimuatnya kritik itu. Lembaganya sendiri sudah beberapa kali
meminta waktu bertemu dengan pemerintah kota untuk menyampaikan komentar,
tetapi mereka belum pernah diberikan waktu sampai penunjukan pelaksana revitalisasi
ini.
Beberapa Catatan
Kelihatannya, rencana
awal proyek revitalisasi Karebosi tidak tersosialisasi dengan baik. Ini
terlihat dari tidak sampainya desain dan rencana pemerintah kota dalam
pekerjaan ini. Dalam pandangan penulis, ada dua hal yang mungkin jadi
masalahnya; bisa jadi pemerintah tidak memaksimalkan sosialisasi itu, atau
mungkin masyarakat tidak terlalu peduli dengan rencana ini ketika pertama kali
digulirkan. Pemuatan rencana dan sosialisasi proyek di koran lokal tentu
menjadi cara yang efektif, tetapi harus disadari bahwa tidak semua warga
membaca koran (yang sama). Di sisi lain, semestinya masyarakat memberikan
reaksi dan pandangan dari awal sehingga bisa diakomodir pemerintah dengan
memanfaatkan semua saluran yang ada.
Di sinilah pentingnya
fungsi dan netralitas media massa. Dugaan Taufik mengenai ketidaknetralan media
massa dalam hal ini mungkin saja benar, tetapi media massa, khususnya cetak,
bukan satu-satunya saluran. Itulah sebabnya, banyak pihak yang menyesalkan
mengapa reaksi beberapa elemen masyarakat baru muncul sekarang justru saat
pekerjaan sudah mulai dilakukan.
Hal yang cukup
positif adalah bahwa PTLCD ditugaskan untuk mengawal quality control and
quality assurance sampai proyek ini selesai. Memang masterplan revitalisasi
Karebosi didesain oleh mereka, tetapi detail pemanfaatan ruang komersil sebesar
40% di bawah Karebosi serta Detail Engineering Design dikerjakan oleh investor.
Namun demikian, PTLCD tetap memiliki wewenang untuk melakukan review dan berhak
menolak rancangan yang menyalahi masterplan.
Sebagai contoh,
ketika investor memberikan desain awal ruang bawah tanah yang dibuat oleh PT
Arkonin, PTLCD memberikan komentar untuk perbaikan tata udara dan tata
cahayanya.
Selain itu, Ihsan
mengakui bahwa mereka aktif berdiskusi dengan semua pihak, termasuk LSM, dalam
menjalankan tugas mereka dalam proyek ini. Dengan demikian, penulis menganggap
bahwa PTLCD bisa menjadi saluran. Seperti halnya saat penulis menanyakan nasib
tujuh makam yang berada di lapangan Karebosi, Ihsan menjelaskan bahwa
pertengahan Nopember ini akan dilakukan pertemuan dengan keturunan raja-raja
Tallo yang dianggap sebagai ahli waris untuk mendiskusikan cara terbaik
melestarikan situs ini. Sebenarnya, sesuai dengan desain PTLCD, tujuh makam itu
akan dipertahankan di tempat semula, tetapi akan tetap diangkat karena
tempatnya akan ditinggikan. Namun demikian, detail pelaksanaannya akan
ditentukan oleh ahli waris pemilik makam itu.
Transparansi
pelaksanaan pekerjaan ini juga sangat penting. Pemerintah maupun elemen
masyarakat Makassar harus sama-sama aktif agar komunikasi dua arah bisa
interaktif. Dalam konteks inilah penulis mendukung upaya legal standing yang
akan dilakukan oleh Walhi Makassar. Dengan munculnya respon masyarakat yang
sebagiannya cenderung negatif, itu sudah cukup menjadi bukti bahwa komunikasi
seluruh stakeholder proyek ini, di mana masyarakat juga termasuk di dalamnya,
tidak berjalan efektif.
Setiap proyek
mestinya dilengkapi dengan dokumen yang lengkap, khususnya studi kelayakan tentang
dampak proyek tersebut kepada masyarakat dan lingkungan. Dari sisi project
management yang modern, belum lengkapnya amdal pada saat pekerjaan mulai
dilakukan, bisa dianggap cacat. Amdal adalah salah satu dokumen yang sangat
penting untuk menilai laik tidaknya proyek tersebut. Walaupun mungkin secara
legal hal ini dibolehkan, akan tetapi sequence eksekusi proyek yang umum adalah
didahulukannya semua dokumen studi kelayakan dan detail desain sebelum
pekerjaan pisik dilakukan. Mengapa itu diperlukan? Karena seluruh saran dan
komentar harus dirujukkan kepada dokumen-dokumen itu.
Proyek ini tentu saja
profitable; karena kalau tidak, tidak akan ada investor yang mau
mengerjakannya. Secara mikro, kehadiran tempat komersil di ruang bawah tanah
Karebosi juga pasti ikut menggeliatkan aktivitas ekonomi. Namun demikian,
kekhawatiran masyarakat bahwa pada akhirnya semua fasilitas yang dibangun
dipermukaan Karebosi tidak akan terawat seiring berjalannya waktu sebagaimana
yang terjadi di tempat-tempat lain, juga harus dijawab oleh pemerintah.
Masyarakat tentu tidak mau jika pada akhirnya Karebosi tidak lagi menjadi ruang
publik dan akses masuk ke dalamnya sudah harus dibayar hanya untuk membiayai
perawatannya. Jika hal ini terjadi, Karebosi seluruhnya akan berubah menjadi
ruang komersil.
Semua pihak masih
harus bekerja. Elemen masyarakat harus menggunakan fungsi kontrolnya untuk
mengawal kebijakan pemerintah. Dalam kasus Karebosi, transparansi adalah
keharusan dan sikap kritis masyarakat sangat diperlukan, maka marilah kita
memanfaatkan peran masing-masing secara maksimal untuk menjaga Karebosi tetap
menjadi milik warga dan bukan hanya menjadi ladang uang bagi pengusaha saja.
Bukankah masyarakat Makassar yang menjadi pemilik sah Karebosi?
Langganan:
Postingan (Atom)